Hai....
Setelah hiatus beberapa tahun dari
dunia per-blog’an, akhirnya ada cahaya ilahi yang membuat diriku kembali
membuat cerpen di blog ini hehehe..
Ini hanya cerita fiksi, berawal
dari imajinasi, bukan pengalaman ya. Karena author tidak pernah bertemu pria
tampan di dalam commuterline, huhu;’)
Nama tokoh dan kejadian hanyalah
fiktif belaka, kecuali kereta yang selalu padat itu adalah fakta kkk~
Happy reading *smile*
#
Sore ini sama seperti
sore hari lainnya, sore yang melelahkan. Setelah seharian berkuliah, kini aku
harus berkutat pada keramaian. Aku benar-benar sangat penat, dan muak melihat
keramaian ini. Tapi, ini adalah pemandangan yang harus ku lihat dan ku rasakan
tiap harinya.
Aku duduk termenung di
bangku yang telah terisi penuh. Lalu, ku edarkan pandanganku ke berbagai arah,
dan ku perhatikan tiap detailnya. Banyak orang yang berlalulalang, dan berdiri
di pinggiran peron untuk menunggu kereta datang. Ada juga, orang yang tengah
sibuk dengan ponselnya. Serta terdengar suara dari pengeras suara, bahwa kereta
tujuan Jatinegara telah tiba.
Aku ragu untuk naik,
setelah melihat betapa penuhnya isi kereta tersebut. Dengan hanya melihat saja
itu sudah membuatku pusing, apalagi jika aku masuk ke dalamnya, hufh pasti tambah pusing.
Ku perhatikan tiap
orang yang turun dari kereta, dan orang yang akan masuk ke dalam kereta. Mereka
semua berdesak-desakan untuk masuk ke dalam. Bahkan ada kejadian yang menyita
perhatianku, dan itu membuatku teringat akan sesuatu yang pernah terjadi
setahun yang lalu.
Aku berlari masuk ke dalam stasiun, dengan cepat aku menaruh
kartu keretaku ke atas mesin tap. Kemudian aku berlari lagi kearah peron 1,
untuk naik ke dalam kereta, sebelum kereta tersebut jalan. Tapi, sialnya,
gerbong khusus cewek sudah penuh, dan itu mengharuskan ku berlari kearah
gerbong lainnya, yang dimana itu adalah gerbong campuran dengan para cowok.
Aku mencoba mencari gerbong campuran yang tidak terlalu
penuh. Karena, aku tak suka jika berimpitan dengan lelaki, apalagi jika ia lelaki tua, itu sangat
risih. Aku pun panik, saat mendengar
pengumuman bahwa kereta yang berada di peron 1 akan segera jalan, dan juga
pintu kereta sudah mulai bergerak ingin menutup.
Di salah satu gerbong, tepat di hadapanku, aku melihat
seseorang mengulurkan tangannya kearah keluar, dan ia mengisyaratkan ku untuk
segera meraih tangannya itu. Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung meraih
uluran tangan tersebut, dan ia menarik tanganku dan membantuku untuk naik.
Setelah aku berhasil masuk, pintu kereta langsung tertutup secara otomatis.
Aku bernafas lega, karena sudah berhasil masuk, dan juga,
untung saja penumpang di dalam gerbong tersebut tidak terlalu padat. Aku
memindahkan posisi tas ranselku kearah depan, dan memeluk beberapa buku yang ku
bawa.
Lalu, ku putar posisi tubuhku kearah depan hingga berhadapan
dengan pintu kereta. Kemudian, aku melirik kearah seseorang yang tengah berdiri
bersandar di samping kiriku. Aku harus mendongak sedikit untuk melihat
wajahnya, karena ia lebih tinggi dariku.
Aku memperhatikan wajahnya lekat-lekat. Sungguh, dia benar-benar
sangat tampan. Ia terlihat seperti boyband korea. Bentuk wajahnya sempurna,
hidungnya mancung, alisnya tebal, kulitnya putih bersih, dan matanya itu loh
berbinar-binar. Bahkan aku masih teringat jelas tatapannya itu, saat ia
mengisyaratkanku untuk meraih uluran tangannya tadi.
“Daebak,” gumamku pelan. Dan, membuat orang tersebut menoleh
kearahku. Aku segera melengoskan pandanganku kearah lain.
Setelah beberapa saat, dan setelah pemberhentian pertama,
aku melirik kearahnya lagi. Dan, sebuah senyuman tiba-tiba mengembang dari
bibirku. Rasanya aku tak bisa berhenti menatap wajahnya, karena wajahnya sangat
nikmat untuk di pandang. Kapan lagi bisa memandangi wajah setampan itu di dalam
commuterline, ‘yakan?
Saking asiknya menatap wajah lelaki tersebut, aku sampai
lupa bilang terima kasih kepadanya. Padahal ia sudah membantuku. Dan juga, aku
tidak sadar bahwa gerbong ini semakin lama semakin padat. Di padati oleh para
lelaki tua. Heol.
Aku menggeser tubuhku sedikit kearah lelaki itu. Karena, di
samping kananku ada bapak-bapak ganjen yang ingin menempel di tubuhku, dan itu
sangat membuatku risih. Aku benar-benar tak bisa berdiri dengan tenang. Ada
saja gangguan yang membuatku risih dan kesal.
Karena aku berdiri di depan pintu, jadi pastinya
aku selalu kena dorongan dari orang yang ingin turun dan naik. Bahkan aku
hampir ingin terjatuh, tapi untung saja lelaki itu menahan tubuhku. Ia memegang
pundakku dengan sentak, dan itu membuatku cukup degdegan. Apalagi saat aku
menatap matanya.
Mungkin karena lelaki itu tau bahwa aku sudah tidak
nyaman lagi, ia menoel lenganku dan dengan pakai isyarat ia memintaku untuk
bergeser ketempatnya berdiri. Akhirnya, kami bertukar tempat. Entah mengapa aku
merasa terlindungi saat di dekatnya. Ini aku yang kegeeran apa gimana yaa?
Tapi, lelaki itu benar-benar sangat baik kok. Bahkan, ia menaruh tangannya di
gagang pintu, untuk melindungiku agar aku tidak kena dorong lagi.
Aku merasa jantungku terus berdegup di sepanjang perjalanan,
karena aku benar-benar dekat dengannya. Bahkan aroma parfumnya pun dapat tercium olehku. Bagimana bisa ia masih tetap
wangi saat di sore hari seperti ini, heol. Tapi, semuanya berakhir, setelah
kereta yang ku naiki tiba di stasiun tujuanku. Aku harus berpisah dengannya
tanpa pamit. Bahkan, aku belum mengucapkan terima kasih. Andai aku mengucapkan
terima kasih di awal, mungkin kita bisa mengenal lebih dekat. Heol, mimpi kamu, Lila. Seru batinku.
(Hari kedua setelah pertemuan pertama)
Aku duduk di bangku stasiun sambil membaca buku kesukaanku.
Hari ini, aku pulang cepat, di karenakan dosenku yang mengajar di sore hari
tidak masuk. Yeay! Jadi, hari ini di stasiun tidak akan ramai.
Eits, tapi yang mengesalkannya adalah hari ini jadwal kereta
sangat berantakan. Katanya, lagi ada gangguan, jadi banyak kereta yang datangnya
lama. Untung saja aku membawa buku kesukaanku, jadi aku tidak mati bosan saat
menunggu.
Saat aku sedang asik membaca, ada seseorang yang berdiri di
hadapanku, ia menghalangi cahaya matahari yang bersinar menusukku. Dengan
sentak, aku mendongak keatas, dan terkejutlah aku saat mengetahui siapa orang
tersebut.
Ia langsung menyapaku “Hai”, dan langsung duduk di tempat
kosong di sebelahku. Aku masih terkejut dengan kehadirannya. Karena, aku tidak
menyangka akan bisa bertemu lagi dengannya. Apakah ini sebuah kebetulan? Atau
takdir yang mempertemukan kami? Apapun itu, aku sangat senang bisa bertemu
dengannya lagi. Ini seperti bertemu idol korea hehe..
Ia tersenyum kepadaku, lalu melihat kearah buku yang sedang
ku pegang, “Elo, suka baca buku ya?” tanyanya tiba-tiba.
“Heoh?” gumamku pelan, aku tak menyangka ia akan berbicara
denganku. Pasalnya kemarin hari, ia hanya diam saja, tanpa berkata apapun. Aku
pikir dia gagu. “Hehe, iyaa,” jawabku singkat. Aku benar-benar tidak tau harus jawab
seperti apa. Ia hanya mengangguk-anggukan kepalanya saja sambil mengalihkan
pandangannya kearah lain.
Udah? Gitu doang? Heol. Seru batinku.
Ada kecanggungan diantara kami. Suasana pun menjadi semakin
hening. Hanya suara pengumuman saja yang terdengar dari pengeras suara. Aku
benar-benar bingung harus berkata apalagi. Pasalnya, aku bukanlah perempuan
ganjen, yang mendekati pria duluan. Aku hanyalah seorang perempuan pemalu.
“Oh iya.” Pada akhirnya, aku duluan kan tuh yang buka suara.
Ia menoleh kearahku. Deg! Bola mata kami bertemu, dan itu
membuatku menjadi gerogi. Aku langsung mengalihkan pandanganku, dan menetralkan
pernafasanku. Ku pukul pelan dadaku, agar irama detak jantungku berhenti
berdetak kencang.
“Ada apa?” tanyanya.
Aku menoleh kearahnya lagi. Betapa tampannya pria yang kini
duduk disampingku. Bahkan, mungkin, ini untuk pertama kalinya aku duduk di
sebelah pria tampan sepertinya. Karena, aku bukan anak gaul, aku hanyalah anak
kutu buku, jadi aku tidak punya banyak teman, apalagi teman pria setampan ini.
Duh, ini benar-benar seperti mimpi bagiku.
“Woi!” ia membuyarkan lamunanku dengan melambaikan tangan
kehadapan wajahku. Aku pun langsung tersadar dari lamunanku. “Ngelamunin apa
sih?” tanyanya.
“Bukan apa-apa kok.” Oke aku harus berbohong. Karena, gak
mungkin kan aku bilang aku sedang melamuninya. Bisa-bisa dia nanti kegeeran
lagi.
“Tadi kayaknya elo mau ngomong sesuatu deh.”
“Ah itu, eh, gini, hmm, gue mau bilang terima kasih sama
elo.”
“Untuk?”
“Terima kasih untuk kemarin. Terima kasih karena elo udah
nolongin gue. Dan, maaf ya gue baru bilang sekarang.” Oke setidaknya aku lega
udah mengucapkan terima kasih kepadanya.
Ia hanya tertawa kecil, dan itu menampilkan lesung pipinya.
Oh, tidak, betapa manisnya ia saat tertawa. Aku benar-benar tidak sanggup lagi,
hawa panas terus menjalar di sekujur tubuhku. Aku tidak mengerti ada apa
denganku ini.
“Hanya itu?”
“Heoh?”
Ia kembali tersenyum, “Enggak, udah lupain aja.”
Aku mengernyitkan dahi, karena aku tidak mengerti apa
maksudnya.
“Btw, nama elo siapa?” tanyanya, dan ini membuatku senang.
“Calila, panggil aja Lila,” jawabku. Dan, ia malah tertawa.
“Kok ketawa sih? Nama gue jelek ya?”
“Bukan.. bukan,” ucapnya yang masih tertawa. “Nama kita
sama.”
“Nama elo, Lila juga?”
“Bukan lah. Nama gue Lilo.”
Aku terkejut, “Heoh?”
“Hampir sama kan? Lucu ya, bisa gitu, nama kita hampir sama.
Jangan-jangan jodoh lagi.” Ujarnya yang membuatku terkejut saat mendengar
perkataan akhirnya.
Jodoh? Heol. Semoga ini hanya kebetulan saja.
Ia langsung melanjutkan ucapannya saat melihat raut wajah
kagetku, “Bercanda elah,” ucapnya sambil tertawa. Aku hanya tersenyum tipis.
Dari pas
perkenalan, kami menjadi lebih santai saat berbicara. Bahkan, saat mengobrol,
seakan kami sudah dekat lama. Banyak hal yang kita bicarakan. Berawal dari
pembicaraan tentang buku, tokoh motivator, drama korea, balik lagi ke tentang
buku, sampai membicarakan tentang masa depan.
Aku senang bisa mengobrol dan bertukar pikiran dengannya.
Padahal kami baru bertemu, tapi sudah seakrab ini. Yang lebih buatku senang
lagi, ternyata kami mempunyai banyak kesamaan. Jarang, bahkan sulit rasanya
bisa menemukan seseorang yang klop dengan diri sendiri.
Dan, aku salut dengan cara berfikirnya. Ia benar-benar punya
wawasan yang luas, dan cara pandang yang beda. Bayangkan saja, apa ada, orang
yang tak punya cita-cita? Pasti hampir semua populasi manusia di dunia ini
punya cita-cita, ‘yakan? Tapi, tidak teruntuk Lilo.
Ia bilang, bahwa cita-cita itu tidak penting baginya. Bagaimana bisa cita-cita itu tidak penting. Kalau tidak ada cita-cita, berarti
kita tidak punya tujuan hidup dong, ‘yakan? Tapi ini lah kata-kata yang di
ucapkan Lilo.
“Emang nantinya elo bakal jadi apa yang elo cita-citakan?
Belum tentukan? Berapa persen elo bisa ngejamin cita-cita elo itu bakal
terwujud? Gue tebak, paling cuma dua puluh persen, yakan? Sisanya elo ragu. Gak
banyak orang di dunia ini bisa menggapai apa yang telah di cita-citakannya.
Betul gak?. Gini deh, ketika elo kecil, elo di tanya, mau jadi apa besar nanti,
pasti jawabannya gak jauh-jauh dari dokter, guru, pilot, polisi, tentara,
artis. Terus, ketika elo tumbuh besar, elo ditanya lagi, mau kemana setelah
lulus SMA? Dan, disitulah elo bingung untuk ngejawab. Apa elo akan ngejawab sama seperti elo ketika kecil waktu itu? pasti enggak. Karena, keraguan mulai menghantui
elo. Apa elo bisa menggapai cita-cita elo itu, apa nantinya elo bisa bertahan
ketika elo sedang berusaha untuk menggapainya, apa nantinya elo gak akan
menyerah di tengah jalan. Dan, ujung-ujungnya kebanyakan orang lebih memilih untuk
mengambil jalan lain. Kenapa? Karena, ia sadar, bahwa apa yang ia cita-citakan
tak sebanding sama kemampuannya. Atau, keberuntungan tidak berpihak kepadanya. Itulah, alasan kenapa
gue gak punya cita-cita. Karena, cita-cita hanya beban bagi gue. Lebih baik gue
ngelakuin apa yang gue bisa, dan yang gue suka tanpa beban. Kalau cita-cita
seseorang tak terwujud, pasti orang itu jadi merasa bahwa dirinya gagal,
ngerasa bahwa dirinya payah, padahal tanpa ia tau, mungkin kemampuannya bukan
disitu. Karena apa yang kita inginkan, belum tentu sesuai dengan kemampuan yang
kita miliki. Gue gak melarang elo dan semua orang untuk bercita-cita. Itu
bebas. Semua orang bebas mempunyai cita-cita dan mimpi, tapi sebaiknya sebelum
bercita-cita, berpikir dulu, apakah sudah sesuai dengan kemampuan yang
dimilikinya. Jika, memang sesuai, yaudah berusahalah, dan tinggal tunggu
keberuntungan berpihak dengannya.”
----------
Saking asiknya kami mengobrol, kami lupa akan waktu.
Ternyata waktu sudah menunjukan pukul 16.15 wib. Dan, kami sudah mengobrol
selama 2 jam. Bahkan, kami telah melewatkan beberapa kereta yang datang.
Karena, aku harus pulang, jadi pembicaraan kami di hentikan.
Kereta tujuan Jakarta kota pun sudah hampir tiba di stasiun pondok cina. Aku
berdiri dari dudukku, lalu berjalan mendekati garis kuning, tapi Lilo masih
terduduk di bangkunya.
“Ayo, keretanya udah masuk tuh,” ajakku. Tapi, Lilo hanya
tersenyum saja.
“Duluan aja, gue masih nunggu seseorang disini.” Ujarnya.
Agak kecewa sih, pas mendengar ucapannya itu.
“Ooh yaudah, kalau gitu, gue duluan ya, gapapa kan?”
“Iya gapapa kok, hati-hati yaa,” katanya, seraya tersenyum.
Aku hanya mengangguk.
Aku menunggu kedatangan kereta tersebut dengan sedikit rasa
kecewa, lalu kereta yang ku tunggu sudah masuk ke dalam jalur.
“La,” panggil Lilo tiba-tiba. Aku pun menoleh kearahnya.
“Hmm,”
“Jika nanti kita ketemu lagi dengan cara tidak sengaja, elo
mau kan ngedate sama gue?” ujarnya membuatku terkejut setengah mati.
Ngedate? Heol. Bahkan aku saja belum pernah ngedate dengan
pria sebelumnya. Dan, aku tidak terpikir sama sekali bakal bisa ngedate dengan
pria setampan Lilo. Aku hanya perempuan kutu buku, yang tidak terlalu cantik,
tapi juga tidak terlalu jelek, dan aku juga tidak modis. Kenapa bisa-bisanya
seorang Lilo mengajak perempuan sepertiku untuk ngedate. Apa ini hanya sebuah
taruhan? Atau ini hanya mimpi?.
Pintu kereta sudah terbuka.
“La, diam elo ini, gue anggap sebagai jawaban ‘mau’, yaa,”
ujarnya. Aku masih dalam keterkejutanku. Aku tak bisa berkata apa-apa. “Udah
sana masuk,” titahnya.
Aku pun segera masuk ke dalam kereta sebelum pintu kereta
tertutup. Dan, benar saja, setelah aku masuk, pintu kereta langsung tertutup.
Bahkan aku belum sempat berpamitan dengannya. Aku hanya bisa melihat Lilo
melambaikan tangannya dari luar, dan aku hanya tersenyum dari dalam kereta,
serta menitikan setetes air mata. Sungguh, aku terharu, karena ada seseorang
yang mengajakku seperti itu. Dan, yang membuatku sedih, apakah bisa aku dan
dirinya bertemu kembali? Bahkan aku tidak tau nomor ponselnya, alamat rumahnya,
id media sosialnya. Bahkan, nama panjangnya aja aku gak tau. Aku berharap besok
kita bisa bertemu kembali ya, Lo.
Lamunanku buyar, ketika
mendengar pengumuman bahwa kereta selanjutnya sudah berangkat dari stasiun
depok baru. Karena, ini sudah terlalu sore, dan aku tidak mau mengenang dia
lagi, aku memutuskan untuk menaiki kereta tersebut. Aku berjalan kearah garis
kuning, dan menunggu kedatangan kereta.
Sejujurnya, setiap aku
berada di stasiun ini, aku selalu mengingat dia, mengingat cinta pertamaku.
Lilo si pria aneh, tapi berhasil membuatku jatuh hati, sekaligus patah hati.
Lilo
adalah pria teraneh yang pernah kutemui. Sudut pandang berpikirnya dia, benar-benar
berbeda denganku. Tapi, ucapan dia kala itu berhasil membuatku berpikir, bahkan
sampai terngiang-ngiang hingga detik ini. Dan, dia berhasil membuatku ragu,
apakah nanti aku bisa menggapai cita-citaku?
aku memukul pelan
kepalaku, untuk menyadarkan diriku sendiri.
Cukup, La. Ini udah
satu tahun berlalu, lupain dia pleaseee. batinku berseru.
Aku menghela nafas
kasar. Dan, menundukan kepala. Lagi dan lagi, Lilo berhasil masuk ke dalam
pikiranku. Sejak pertemuan kedua kami yang tidak sengaja itu, kami tidak
bertemu kembali. Padahal setiap harinya aku selalu berharap, bahwa aku bisa
bertemu dengannya lagi, aku berharap kita satu kereta, atau aku berharap kita
bertemu di tempat lain.
Bahkan aku rela
menunggu di stasiun hingga malam, agar aku bisa bertemu dengannya. Tapi ternyata
tidak. Lilo seakan menghilang di telan bumi. Dan, saat itu menjadi pertemuan
terakhir kami. Serta, awal bagiku untuk jatuh cinta dengan seorang lelaki untuk
pertama kalinya.
“Ku rindu, Lilo,”
dengusku pelan.
Kereta yang ku tunggu
akhirnya datang, lalu berhenti, dan pintu mulai terbuka. Saat ku ingin
melangkahkan kaki, tiba-tiba seseorang merengkuh tanganku, dengan sentak aku
menoleh kebelakang.
Deg!
Pandangan kami bertemu.
Aku sungguh terkejut,
benar-benar terkejut. Bahkan aku sampai menitikan air mata. Bagaimana bisa,
setelah setahun berlalu, kami di pertemukan lagi, dengan cara yang hampir sama,
di tempat yang sama, dan waktu yang sama. Ini sungguh di luar batas
pemikiranku.
“Hai, La,” sapanya
seraya tersenyum. Senyuman itu, senyuman yang ku lihat setahun yang lalu, dan
itu masih terlihat sama.
Inilah pertemuan ketigaku
dengan si pria aneh, Lilo.
-END-
Terima kasih sudah membaca cerita ini *smile* hehehe
Komentar
Posting Komentar